Stop Mengunggah Proses Penyelesaian Kasus ke Media Sosial
Unggah Penyelesaian Kasus – Tulisan ini diinspirasi oleh beberapa kejadian yang sempat muncul di beranda dan timeline media sosial saya. Sebagai orang awam dan bukan seorang pendidik. Ijinkan saya mengutarakan pendapat pribadi saya dalam tulisan ini.
Sebatas opini pribadi saya sendiri, melihat sesuatu yang tidak pantas dari kebiasaan guru yang suka pamer pencapaian di media sosial. Terutama guru yang suka mengunggah kegiatan penyelesaian kasus yang ia lakukan ke media sosial.
Terlepas dari tujuan guru tersebut baik atau tidak, saya rasa mengunggah kegiatan penyelesaian kasus atau sejenisnya ke media sosial bukanlah hal yang bijak untuk dilakukan.
Apalagi kegiatan mengunggah penyelesaian kasus tersebut memperlihatkan wajah dari pelanggar aturan sekolah yang notabene jika di dalam hukum adalah anak di bawah umur. Apakah ini dibenarkan?
Tujuan Mengunggah Sesuatu ke Media Sosial
Sebelum menghakimi benar atau tidak benar, mari lihat dulu beberapa motif yang dilakukan oleh seseorang dalam mengunggah kegiatan mereka di sekolah ke media sosial. Motif berikut ini adalah motif umum yang biasa terjadi.
Eksistensi
Melirik pengertian eksistensi dari laman wikipedia, ada 4 pengertian eksistensi. Akan tetapi, pengertian eksistensi yang cukup mendekati dengan kegiatan unggah kasus dan penyelesaiannya ke media sosial adalah apa yang memiliki aktualitas dan segala sesuatu yang dialami dan menekankan bahwa sesuatu itu ada.
Sederhananya, eksistensi dalam media sosial adalah segala sesuatu yang ingin menyatakan aktualitas dan keberadaan. Ini loh saya, ini loh pekerjaan saya. Ini loh pencapaian saya.
Flexing
Apa itu flexing? Sama dengan eksistensi, flexing memiliki banyak pengertian. Akan tetapi berkait menjadi satu benang merah yang bisa disimpulkan menjadi satu pengertian flexing. Definisi flexing adalah menyombongkan diri tentang sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dibangga-banggakan, berbohong tentang pencapaian, atau membesar-besarkan kebenaran.
Sekadar informasi, flexing sendiri adalah bahasa slang atau bahasa gaul. Beberapa ahli kejiwaan sepakat menyebutkan bahwa flexing adalah penyakit yang ditimbulkan akibat keseringan posting atau pamer di media sosial. Flexing menjadi awal beberapa penyakit lain yang timbul akibat keseringan bermedia sosial.
Pentingkah Unggah Penyelesaian Kasus di Sekolah ke Media Sosial
Penting! Menurut saya penting. Akan tetapi, ada hal-hal yang harus diperhatikan juga secara saksama oleh pengunggah. Misalnya, informasi pribadi dan lain hal yang bersifat pribadi.
Jika itu adalah pencapaian yang baik. Ada baiknya, untuk bijak dan selektif dalam menyeleksi konten yang akan diunggah. Gunakan bahasa formal, baik, dan santun sebagaimana bahasa seorang pendidik.
Namun, jika itu adalah pencapaian yang kurang bagus meski bagi pengunggah adalah pencapaian yang baik. Ada baiknya melakulan sensor pada wajah dan sebagainya. Hal ini bisa diterapkan saat mengunggah penyelesaian kasus yang dilakukan oleh guru BK, guru piket atau bagian kesiswaan yang berurusan dengan kelakuan kurang baik para peserta didik.
Kenapa Filter dan Sensor Diperlukan?
Berdasarkan aturan yang berlaku, seperti merujuk kepada undang-undang ITE pasal 27 ayat (3). Meski bukan termasuk ke dalam delik pidana, akan tetapi bukan tak mungkin pengunggah bisa dituntut secara hukum jika pengunggahan yang berisi gambar merugikan pihak lain. (Untuk lebih jelasnya silakan baca dan cari referensi tentang undang-undang ITE).
Oleh karena itulah mengapa filter dan sensor terhadap wajah dalam unggahan yang melibatkan peserta didik di bawah umur perlu dilakukan. Meski tujuannya adalah untuk edukasi dan pemberian efek jera.
Sebagai pendidik, Anda tidak akan pernah tahu unggahan yang dibuat bisa berakibat sangat besar kepada peserta didik yang berada dalam foto yang diposting ke media sosial yang dimiliki. Mereka bisa saja menjadi bahan olok-olok atau bahan perundungan oleh siswa lain dan orang sekitar yang melihat unggahan Anda di media sosial.
Solusi
Ada baiknya, sebagai seorang tenaga pendidik bijak dalam mengunggah foto ke media sosial. Terutama hal-hal yang menyangkut prilaku dan penyelesaian kasus peserta didik.
Mungkin bagi seorang guru itu adalah sebuah prestasi, eksistensi, dan pencapaian luar biasa yang perlu pengakuan. Tapi tidak bagi mereka yang ada dalam foto yang diunggah.
Cukup mengunggah foto yang benar-benar berisi pencapaian nyata dan digunakan untuk branding positif kepada sekolah tempat mengabdi. Semestinya hal negatif, seperti kelakuan buruk sebagian peserta didik tidak perlu diketahui oleh khalayak ramai.
Kesimpulan
Apa pun itu, sebagai pendidik yang berstatus sebagai manusia biasa. Mencari eksistensi dan pengakuan di media sosial itu sah-sah saja dilakukan. Akan tetapi, sebagaimana mestinya di sebuah negara yang berlandaskan hukum dan etika yang ramah anak.
Pendidik harus menyadari betul apa yang ia lakukan termasuk kegiatan posting pencapaian mereka di dunia maya dan media sosial. Sejatinya, media sosial juga memberikan beberapa dampak negatif pada penggunanya dan orang lain. Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan dari pengguna agar apa yang telah dicapai tidak memberi dampak buruk. Nah, bagaimana menurut teman-teman? Yuk bagikan pendapatnya di kolom komentar.
---
Jangan lupa untuk follow dan subscribes uncchu.com di google news dan youtube.
Join the conversation